Laman

Monday 23 March 2015

Pdt. Agustheis dan Masuknya Injil di Urung Panei (Sejarah yang hampir Terlupakan)

Tahun lalu saya pulang kampung, ke Urung Panei. Kalau Anda pernah ke Simarjarunjung lewat Tigarunggu, maka Anda melewati kampung yang bernama Urung Panei itu, jaraknya kurang lebih 9 km dari Tigarunggu. 

Dalam kesempatan pulang itu, saya berbincang-bincang dengan Pengantar Jemaat GKPS di sana, St. L. Damanik. Kebetulan beliau juga Tulang saya, Ibu saya adalah botounya. Dari beliaulah saya tahu bahwa Pdt. Agustheis juga pernah melayani di Urung Panei. Sebelum itu, belum pernah saya ketahui dan dengar bahwa Pdt. Agustheis pernah ke sana. Saya menduga dengan kuat bahwa rekan-rekan yang belajar teologi di Medan maupun Siantar mungkin sudah tahu tentang hal itu dalam sejarah gereja di Tanah Batak. Sepanjang yang saya ketahui dan dari bahan-bahan yang saya pernah baca, saya belum menemukan informasi tentang keberadaan Pdt. Agustheis di Urung Panei. Jadi saya cukup kaget dan dalam waktu yang sama juga senang mengetahui bahwa Pdt. Agustheis sempat berkarya di Urung Panei. 

Perbincangan saya dengan St. L. Damanik berlangsung pada bulan November 2004 di rumah keluarga beliau. Perbincangan itu merupakan sumber penting dalam tulisan saya ini, di samping, pengetahuan saya tentang Urung Panei, sebagai orang yang lahir dan melewatkan sebagian masa kanak-kanak saya di sana. Perbincangan berlangsung dalam bahasa Simalungun Urung Panei. 

Dengan pertimbangan pentingnya nama-nama dalam perbincangan sejarah, saya memutuskan untuk menuliskan nama-nama dalam perbincangan kami itu di sini, nama-nama mereka yang sangat erat berkaitan dengan sejarah masuknya Injil di Urung Panei. Mereka adalah pelaku sejarah yang sangat patut diketahui dan dihargai oleh generasi sekarang dan berikutnya. Jadi, marsantabi ma lobe au bani keluarga ni na husobut holi goranni ibe tulisan on, tarlobih goran-goran ni na parlobe-lobe han Urung Panei marhorja pararathon Ambilan Na Madear in. 

Pdt. Agustheis ke Urung Panei
Pdt. Agustheis datang ke Simalungun pada tahun 1903. Pada masa itu, Pdt. Nomensen menjadi ephorus HKBP di Tanah Batak[1]. Dalam perjalanan ke Simalungun, Pdt. Agustheis melewati Tigaras (barangkali beliau naik solu dari Samosir ke Tigaras?). Beliau sampai di Tigaras pada bulan September 1903. Ini menjadi tahun yang penting bagi kita di GKPS, sebab tahun ini adalah tahun permulaan masuknya Injil di Tanah Simalungun. 

Saya belum meneliti arsif-arsif yang berkaitan dengan sejarah GKPS yang tentunya ada di Kantor Pusat GKPS berkaitan dengan detilnya perjalanan Pdt. Agustheis di Simalungun. Misalnya, apakah dalam arsif itu ada tertulis bahwa beliau pernah dari Urung Panei dan melakukan baptisan di sana. Mengapa dalam Napak Tilas Pemuda GKPS tahun 2003, Urung Panei tidak disertakan dalam rute, saya tidak tahu. Saya tidak tahu apa yang menjadi alasan di baliknya. Apakah karena tidak ada orang yang tahu bahwa Pdt. Agustheis melalui Urung Panei setelah dari Tigaras dalam kedatangannya yang pertama itu dan berkarya di sana ataukah hanya karena pertimbangan teknis saja untuk memudahkan Napak Tilas? Saya belum tahu dan belum bertanya kepada penyelenggara Napak Tilas Pemuda pada bulan September 2003 lalu itu. Hal ini juga menjadi pertanyaan dari St. L. Damanik di Urung Panei, mengapa Urung Panei dilewatkan. Ini masalah sejarah yang perlu diperhatikan.

Sumber sejarah oral (yang tidak tertulis secara tekstual) merupakan salah satu sumber sejarah yang penting di samping sumber-sumber yang lain. Wawancara (perbincangan) merupakan salah satu metode untuk menggali sejarah, terutama dari mereka yang pernah mengalami atau lebih dekat dan lebih tahu tentang apa yang terjadi. Jadi dalam hal ini, St. L. Damanik, yang lahir pada tahun 1937 dan mengecap pendidikan di Sekolah Kristen di P. Siantar, merupakan salah satu sumber sejarah. Kita belum begitu terbiasa menuliskan sejarah kita dalam bentuk tertulis, walau begitu, saya yakin, kita bisa menemukan orang-orang yang punya ingatan yang tajam, analisa yang mendalam, sekalipun mereka tinggal di kampung. Bukankah orang Batak dikenal dengan kebiasaan mereka berbicara dan berargumentasi? 

Dari penjelasan St. L. Damanik, Pdt. Agustheis melewati Urung Panei dalam perjalanan pertamanya ke Simalungun pada September 1903 itu, setelah dari Tigaras. Pada tahun itu, ada jalan setapak dari Tigaras melewai Sipaga-paga, lalu dari sana ke Urung Panei. Jalan raya tentu saja belum ada. Siapa-siapa saja yang ada dalam rombongannya, sulit diketahui. Mungkin hal itu ada ditulis oleh beliau dalam arsif di gereja sopo yang didirikan pada tahun 1910 di Urung Panei, tetapi sayang, pada tahun 1916, arsif itu musnah dilalap api, bersama dengan gereja dan rumah-rumah di kampung tersebut. 

Di Urung Panei, pada bulan September 1903 itu, Pdt. Agustheis dan orang-orang yang ikut serta dengannya bertemu dengan Tuan Urung Panei, Tuan Marhali Purba. Kepada Tuan Marhali Purba, Pdt. Agustheis bertanya: Dari manakah jalan dari sini menuju Dolok Saribu? "Saya masih ingat betul apa yang dikatakan oleh Pdt. Agustheis terhadap Tuan Urung Panei dalam buku pelajaran kami di Sekolah Kristen di P. Siantar tentang sejarah masuknya Kekristenan di Simalungun: "Hunja do dalan hunjon hu Dolok Saribu"?", demikian tegas St. L. Damanik. 

Jadi tahun 1903 itulah pertama kali Pdt. Agustheis menginjakkan kaki di Urung Panei. Tuan Urung Panei, Tuan Marhali Purba mengantarkan mereka ke Dolok Saribu melewati Nagori Silou dan Aek Silopak (Sidamar). Setelah tahun 1903 itu, Pdt. Agustheis kembali lagi ke Urung Panei. Kita tidak tahu berapa lama beliau berada di sana, tetapi, nampaknya mengingat keadaan waktu itu, sebagaimana diungkapkannya begitu tiba di Tigaras, domma gorsing omei in, tokka ma sabion tapi lang adong ope panabi, beliau pasti harus membagi waktu untuk dapat mengunjungi dan melayani di beberapa tempat, salah satunya di Urung Panei itu. 

Gereja Beratap Ilalang (Gareja Sopo) dan Perkembangan Jemaat

Pada tahun 1910, berdirilah gereja sopo, gereja kecil di Urung Panei. Gereja kecil beratap alang-alang. Aristarkus Purba adalah orang Urung Panei yang pertama yang menerima baptisan yang langsung dilakukan oleh Pdt. Agustheis. Aristarkus Purba adalah anak kandung dari Tuan Urung Panei, Tuan Marhali Purba. Kita tidak tahu apakah gereja lebih dulu didirikan baru Aristarkus Purba dibaptis atau sebaliknya. Mungkin saja, pembabtisan dilakukan lebih dulu dan setelah itu gereja didirikan dan dengan begitu, Aristarkus Purba dan beberapa orang yang kemudian juga dibaptis mengambil peran penting dalam pendirian gereja. Jadi, butuh waktu 7 tahun sejak kedatangan Pdt. Agustheis yang pertama kali di sana (1903), baru gereja kecil itu berdiri. 

Jumlah orang yang dibaptis bertambah. Sepasang suami-istri juga dibaptis oleh Pdt. Agustheis dan beliaulah yang memberikan nama baru bagi mereka. Kebetulan, saat saya berbincang dengan St. L. Damanik, anak dari suami-istri yang dibaptis oleh Pdt. Agustheis ada bersama kami dan mendengarkan perbicangan yang sedang berlangsung. Nama anak dari orang tua yang dibaptis oleh Pdt. Agustheis itu adalah Salon Silalahi. Ibunya bernama Rolina dan bapaknya bernama Bisman. Nama-nama baru diberikan oleh Pdt. Agustheis, sebagaimana halnya terhadap Aristarkus Purba. Pemberian nama baru seperti ini oleh kalangan missionaris yang mula-mula masuk di Tanah Batak adalah hal yang umum terjadi. Nama lama tidak dipakai lagi, diganti dengan nama baru, nama Kristen[2]. 

Setelah terjadinya kebakaran pada tahun 1916 yang memusnahkan rumah-rumah dan juga gereja di Urung Panei, sebagian penduduk pindah dari sana dan mendirikan rumah di luar kampung (huta) tersebut sedangkan sebagian lagi, membangun kembali rumah mereka di sana. Kakek dari St. L. Damanik dan keluarga termasuk salah satu yang pindah dan mendirikan rumah mereka sekitar 400 meter ke arah barat Urung Panei yang musnah terbakar pada tahun 1916 itu. Sekarang, huta yang dulu bernama Urung Panei di mana didirikan gereja pada tahun 1910 itu, tidak lagi berpenghuni, semua penduduknya telah pindah dari sana, ke lokasi yang lebih dekat dengan jalan raya. Ketika saya masih kecil, masih banyak yang tinggal di sana, tetapi sekitar 1980-an akhir, kampung itu sudah kosong, hanya ada beberapa rumah yang tidak berpenghuni lagi karena pemiliknya sudah mendirikan rumah di tepi jalan raya. Urung Panei yang dulu itu sekarang dinamakan Huta Lama. Urung Panei yang sekarang juga kadang-kadang disebut Sabah. Mungkin karena dekat dengan sawah. 

Setelah terjadinya kebakaran pada tahun 1916 itu, gereja didirikan lagi oleh penduduk kampung di Urung Panei (Huta Lama) itu. Jumlah orang Kristen semakin bertambah banyak. Didatangkanlah guru zending dari Seribu Dolok, yaitu guru Kerfanus Purba yang nantinya juga ditahbiskan menjadi pendeta. Gereja itu sendiri juga mempunyai fungsi lain yang cukup penting yaitu menjadi ruang kelas bagi anak-anak yang sekolah. Ruang gereja sendiri dibagi menjadi tiga kelas (kelas I - III) dan ditambahkan ruangan di belakang gereja untuk kelas IV. Jadi gereja yang awal itu mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh zending. Sesudah kemerdekaan Indonesia, pemerintah lalu mengambil alih dengan mendirikan Sekolah Rakyat di lokasi yang agak jauh dari Urung Panei. Sekolah Rakyat ini nantinya berubah nama menjadi Sekolah Dasar Negeri dan kemudian, bertambah lagi satu Sekolah Dasar Impres di sampingnya, terletak di Parsikkolaan (begitulah tempat ini dinamakan). 

Salah seorang pekerja keras dari Urung Panei dalam proses penginjilan di Tanah Simalungun adalah Oppung Evangelis Salomo Purba (beliau dibaptis oleh Pdt. Agustheis pada tahun 1910, kemungkinan besar setelah gereja sopo itu telah selesai didirikan di sana pada tahun yang sama). Evangelis Samolo Purba terutama bekerja di wilayah Sindarraya, Harang Gaol dan Gajapokki. Saya sendiri masih sempat mengenal Oppung Evangelis ini ketika saya masih kanak-kanak. Sampai usia tuanya, dia masih aktif berkotbah di hari Minggu. Anaknya, St. Luther Purba (Alm.), juga aktif dalam pelayanan di gereja, termasuk mengajar Sekolah Minggu. St. K. Purba yang merupakan salah satu pekerja huria di Urung Panei sekarang ini adalah juga anak Oppung Evangelis Salomo Purba itu.

Menggali Sejarah Kita

Sudah seratus tahun lebih setelah kedatangan Pdt. Agustheis di Simalungun. Sayangnya beliau, setahu saya sejauh ini, tidak meninggalkan catatan-catatan tentang pekerjaannya dan juga tentang pengalaman-pengalamannya selama berada di Simalungun, yang sebenarnya, kalau ada, pastilah menjadi salah satu harta yang sangat berharga bagi jemaat GKPS. Orang seperti saya, yang lahir pada tahun 1975 di Urung Panei (bukan di Huta Lama itu) sebab keluarga ibu saya telah pindah ke luar kampung itu setelah 1916, baru hanya dapat menemukan potongan-potongan kecil berkaitan dengan informasi tentang masuknya Injil di Simalungun dan lebih khusus lagi tentang pekerjaan Pdt. Agustheis. Misalnya saja, sebagaimana yang dapat kita baca dalam website GKPS, www.gkps.or.id, dalam penjelasan singkat tentang Sejarah Ringkas GKPS: "...September 1903 masuknya injil Tuhan Yesus Kristus di Simalungun dan Pendeta yang membawanya ke Simalungun adalah Pendeta. DR. L . Nomensen sebagai kepala pemberita injil di tanah Batak. Januari 1904 di mulialah Zending Simalungun yang bertempat tinggal di Pematang Raya dan Pdt. Guilllaume berada di Purba saribu untuk melayani pemberitaan injil di Simalungun Raya di bagian Barat. Sebagai hasil pertama dari pemberitaan injil di Simalungun baru pada tahun 1909 di Pematang Raya menerima permandian suci (Pandidion na parlobei) oleh Pdt. Theis kemudian di Parapat juga ada 38 orang yang menerima permandian suci. 1 September 1928 diadakan di Pematangan Raya pesta peringatan genap 25 tahun pemberitaan injil di Simalungun...".

Kurang jelas apa yang dimaksudkan oleh penulis sejarah di website itu. Apakah Nomensen sendiri pernah ke Tanah Simalungun? Nampaknya tidak juga. Benar bahwa Nomemsen pada tahun itu adalah kepala pemberita Injil di Tanah Batak sebab beliau saat itu sudah menjadi Ephorus HKBP. (Pdt. Nomensen diangkat menjadi ephorus pada tahun 1881 sampai tahun 1918. Beliau meninggal di Sigumpar pada 23 Mei 1918).[3] 

Dari apa yang kita baca di atas, pembaptisan yang pertama di Simalungun berlangsung pada tahun 1909 di Pematang Raya oleh Pdt. Theis, kemudian di Parapat. Nampaknya akan sangat sulit mengetahui tahun berapa persisnya Pdt. Agustheis membaptis Aristarkus Purba di Urung Panei. Yang jelas, gereja sopo berdiri di sana tahun 1910 dan seperti yang saya singgung sebelumnya, lebih masuk akal bahwa pembaptisan berlangsung lebih dulu daripada pembangunan gereja sopo itu. Tapi hal itu tidak mutlak, mungkin saja, Aristarkus dibaptis tak lama setelah gereja sopo didirikan. 

Andai saja Oppung Evangelis Salomo Purba masih hidup, mungkin lebih banyak informasi yang lebih detil yang dapat kita peroleh tentang sejarah masuknya Injil di Urung Panei, bagaimana detil-detil kedatangan dan pekerjaan Pdt. Agustheis di sana. Barangkali sudah sangat sulit menemukan saksi sejarah yang masih hidup yang turut serta melibatkan diri dalam penyebaran Injil di Simalungun, yang berjumpa dan bekerja dengan Pdt. Agustheis, sebagaimana halnya Oppung Evangelis Salomo Purba itu. Kalau masih ada, alangkah baik dan berharganya untuk berbicara dengan mereka, menggali sebanyak mungkin informasi dari ingatan dan pengalaman-pengalaman mereka, demi kita generasi sekarang dan juga generasi yang akan datang. 

Dalam konteks kurangnya bahan tertulis tentang sejarah kita, tentang para pelaku sejarah kita berkaitan dengan penginjilan di Tanah Simalungun sejak tahun 1903 itu dan di GKPS (GKPS manjae dari HKBP pada tahun 1963), maka sangat perlulah usaha-usaha untuk mengumpulkan sedapat mungkin berbagai ingatan dan informasi. Sebagai orang Urung Panei, tentu saya menjadi bertanya, yang benar yang manakah? Orang Urung Panei bilang, gereja di Urung Panei lebih dulu berdiri daripada gereja di P. Raya. Orang P. Raya mungkin akan bilang, lebih dulu di P. Raya. Yang menarik adalah komentar Pak Salon Silalahi, anak pasangan orang tua yang dibaptis oleh Pdt. Agustheis, yang mengatakan bahwa salah satu sebab sejarah gereja sopo dan juga GKPS Urung Panei tidak begitu "diperhatikan" adalah karena mereka lebih miskin dibanding dengan penduduk P. Raya atau Purba Dolok. Gerejanya juga beratap ilalang dan setelah dibangun lagi, toh tidak sebagus gereja di P. Raya atau di Purba Dolok. Jadi walaupun sebenarnya Pdt. Agustheis datang dan membaptis penduduk setempat di sana, gereja didirikan lebih dulu di sana daripada di P. Raya, hal itu seolah-olah dilupakan. 

Untuk mengetahui lebih jelas sejarah masuknya Injil di Urung Panei, kita memerlukan penggalian bersama di titik-titik di mana Pdt. Agustheis dulu pernah bekerja. Dengan membandingkan beberapa kesaksian dan sumber-sumber (semakin banyak semakin baik), akan sangat membantu, sebab kadang-kadang atau bahkan sering terjadi, sejarah adalah milik dan ditulis oleh pemenang. Pemenang karena berbagai macam faktor yang berkaitan dengan kondisi politis, sosial dan ekonomi. P. Raya memang menjadi tempat atau titik yang cukup penting dalam sejarah penginjilan di Simalungun tetapi kita jangan lupa atau jangan abai dengan titik-titik lain dan juga para pelaku sejarah yang lain yang bukan dari P. Raya. Mari kita saling melengkapi apa yang kurang, saling memberi informasi sehingga bisa diperbandingkan dan dengan begitu akan lebih mudah mencari dan menemukan benang merah dan kronologi dari apa yang terjadi. Kita semua adalah pelaku sejarah, termasuk para orang tua dan nenek-kakek kita. GKPS tidak mungkin tetap kokoh berdiri tanpa anggota jemaatnya, termasuk yang di kampung-kampung itu. Mereka juga adalah pelaku sejarah. Setiap manusia adalah pelaku sejarah. 
*** 

Limantina Sihaloho
Peneliti Tamu di Lutheran School of Theology at Chicago,US
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Para pekabar Injil telah mulai masuk di Tanah Batak sejak tahun 1824 dengan diutusnya Pdt. Ward dan Pdt Burton yang diutus oleh Gereja Baptis Inggris. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Badan Zending Rheinshe (RMG) yang akan lebih banyak mengambil peran dalam proses pengnjilan di Tanah Batak, terutama setelah datangnya I.L. Nomensen. Pembaptisan pertama dilakukan terhadap Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon di Sipirok, dilakukan oleh Pdt. Van Asselt padatahun 1861, tahun berdirinya HKBP. 

[2] Tidak heran, kalau nama-nama orang Batak (bahkan di luar Tanah Batak yang merupakan wilayah penginjilan) banyak yang mirip atau sama dengan nama-nama orang Eropa seperti Robert, Edward, Johan, (John) Kristin, Edy, dst. Sebenarnya, kita tidak tahu apa artinya Robert atau Edward atau Johan. Saya pernah bertanya kepada orang Eropa yang namanya John, apa artinya John. Orang tersebut mengaku tidak tahu apa artinya John begitu juga nama-nama lainnya seperti Edward atau Robert. Kristin lebih mudah dimengerti, nama yang sangat erat berkaitan dengan Kristen.

[3] Berdasarkan pengetahun St. L. Damanik, Pdt. Nomensen tidak datang ke Simalungun tetapi pada masa itu, gambarnya dikirimkan ke Simalungun. 

Sumber : GKPS 

Logo GKPS


Logo GKPS Penetapan Logo GKPS Logo GKPS ditetapkan oleh Synode Bolon GKPS yang ke 32 di Parapat pada tanggal 4-8 Juli 1994. Makna logo GKPS

Logo adalah huruf atau lambang yang mengandung atau makna, sebagai lambang.
Logo GKPS adalah melambangkan makna pewujudan GKPS sebagai bagian yang utuh dan tak terpisahkan dari gereja yang Esa, Kudus, Am/Katolik dan Rasuli di seluruh dunia, yang terpanggil dan disuruh untuk bersekutu, bersaksi dan melayani.

Huruf dan lambang logo GKPS

1. Dalam Logo GKPS ada tiga hal yang dinampakkan :

Salib : Melambangkan pengakuan GKPS bahwa Yesus Kristus adalah Juru Selamat Dunia dan Kepala Gereja, Kebenaran dan Hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja sesuai dengan Firman Tuhan.
Daun Sirih : Dua lembar daun sirih menghadap ke Salib melambangkan persekutuan yang sama-sama menyembah kepada Yesus Kristus. Daun sirih juga melambangkan tradisi masyarakat Simalungun dalam persekutuan dan kebersamaan yang saling melayani / menghormati dalam kedamaian demi kesejahteraan.
Tulisan/huruf: Gereja Kristen Protestan Simalungun - GKPS - yang melingkar Salib dan Sirih, melambangkan kehadiran Injil di Simalungun mengantar Simalungun dari kegelapan kepada Terang Allah dan menemukan dalam gereja di Indonesia, yakni Gereja Kristen Protestan Simalungun.

2. Logo GKPS menggunakan 3 (tiga) warna yaitu:

> Warna Putih : Adalah warna dasar. Warna Putih melambangkan kesucian.
Warna Biru : Adalah warna untuk Salib dan tulisan GEREJA KRISTEN PROTESTAN SIMALUNGUN - GKPS. Warna Biru melambangkan kesetiaan.
Warna Hijau : Adalah warna untuk Daun Sirih, merupakan warna asli daun sirih. Warna Hijau melambangkan perdamaian

sumber : GKPS

Monday 9 March 2015

Sulitnya menulis buku

Sejak melangkah di lingkungan perkuliahan banyak proyek pribadi yang ingin saya tuntaskan selama perkuliahan salah satunya ingin menulis buku, tepatnya buku mengenai Linux. Tapi begitu banyak halangan yang membuat hal itu tidak tercapai hingga Bab I pun tak kunjung selesai. Saya tidak mengerti mengapa begitu sulit merangkai kata-kata untuk pembuatan buku ini. Apakah karena pengalaman saya yang kurang bersama Linux atau apakah karena kesibukan lain yang membuat saya tidak fokus dalam menulis buku ini. Ah, entahlah.... Mungkin nanti akan tiba waktunya dimana semua inspirasi itu datang.